Renungan Harian HKBP | 11 Juni 2023 (Epistel)

Doa Pembuka: Terima kasih Tuhan karena Engkau senantiasa menyertai kami umat-Mu dalam segala aktivitas kami hari ini. Kami akan mendengarkan firman-Mu, berilah kepada kami hati dan pikiran yang terbuka untuk menerima firman-Mu itu. Di dalam nama Tuhan Yesus Kristus kami berdoa dan mengucap syukur. Amin.

 

Firman Tuhan yang menjadi nats renungan bagi kita pada saat ini adalah nas yang tertulis dalam kitab Hosea 5: 15 – 6:6. Demikian tertulis:

Aku akan pergi pulang ke tempat-Ku, sampai mereka mengaku bersalah dan mencari wajah-Ku. Dalam kesesakannya mereka akan merindukan Aku:

“Mari, kita akan berbalik kepada TUHAN, sebab Dialah yang telah menerkam dan yang akan menyembuhkan kita, yang telah memukul dan yang akan membalut kita.

Ia akan menghidupkan kita sesudah dua hari, pada hari yang ketiga Ia akan membangkitkan kita, dan kita akan hidup di hadapan-Nya.

Marilah kita mengenal dan berusaha sungguh-sungguh mengenal TUHAN; Ia pasti muncul seperti fajar, Ia akan datang kepada kita seperti hujan, seperti hujan pada akhir musim yang mengairi bumi.”

Apakah yang akan Kulakukan kepadamu, hai Efraim? Apakah yang akan Kulakukan kepadamu, hai Yehuda? Kasih setiamu seperti kabut pagi dan seperti embun yang hilang pagi-pagi benar. Sebab itu Aku telah meremukkan mereka dengan perantaraan nabi-nabi, Aku telah mebunuh mereka dengan perkataan mulut-Ku, dan hukum-Ku keluar seperti terang.

Sebab Aku menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan, dan menyukai pengenalan akan Allah, lebih daripada korban-korban bakaran.

 

Saudara yang terkasih, mengenal TUHAN adalah suatu hal yang harus dilakukan oleh setiap orang. Mengenal TUHAN tidak sama dengan sekedar mengetahui tentang siapa TUHAN itu. Mengenal TUHAN berarti tunduk kepada-Nya, tahu apa yang dikehendaki-Nya. Mengenal TUHAN memerlukan kesungguhan.


Kesungguhan itulah yang tidak ada dalam pengenalan umat TUHAN di masa masih berdirinya kerajaan Israel (yang saat itu terpecah menjadi Israel Utara/ Efraim dan Israel Selatan/Yehuda). Kedua bangsa itu pada suatu masa berada dalam masa kejayaannya. Kehidupan mereka sekilas tampak sejahtera, ritual keagamaan juga berlangsung semarak. Namun ternyata, semua itu membawa mereka ke dalam kecongkakan dan kejahatan. Umat itu seakan melupakan TUHAN sebab mereka merasa pencapaian mereka semata-mata adalah karena kekuatan mereka sendiri. Pun dalam ritual-ritual agama, mereka merasa bahwa apabila mereka memberikan korban banyak-banyak, maka otomatis TUHAN akan berkenan kepada mereka. Nyatanya, kebanyakan ritual itu dilakukan semata-mata adalah untuk menutupi kejahatan. Mereka banyak melakukan penindasan terhadap saudaranya sendiri. Kaum yang lemah seperti para janda dan anak-anak yatim tidak mendapatkan perlindungan, bahkan sering diperlakukan tidak adil. Yang lebih ironis, umat itu tidak lagi mengandalkan TUHAN sepenuhnya. Mereka lebih berharap pada kekuatan militer bangsa asing, yang mereka pikir mampu menyelamatkan mereka dari ancaman musuh.


Dengan sikap seperti itu, bangsa itu memunculkan murka TUHAN. Melalui perantaraan para nabi TUHAN menyampaikan teguran, agar mereka bertobat, dan agar hukuman TUHAN tidak dijatuhkan atas mereka. Namun, pertobatan mereka hanya merupakan pertobatan yang pura-pura, tidak ada kesungguhan di dalamnya. Sebab, bangsa itu segera kembali kepada kejahatannya. Ayat 1-3 memperlihatkan bagaimana pemberitaan Hosea awalnya membuat umat saling mendorong untuk kembali kepada TUHAN. Namun, perubahaan hati mereka hanya bersifat sementara, sebab mereka segera kembali menyembah berhala, merkea saling membunuh demi meraih kekuasaan, dan lebih mengandalkan kekuatan bangsa asing, daripada percaya kepada kekuatan TUHAN.


TUHAN menyesalkan sikap umat-Nya itu, dengan menggambarkan kesetiaan mereka seperti kabut, yang hilang dengan segera di pagi hari. Sikap itu membuat TUHAN menegaskan hukuman yang akan dijatuhkan atas bangsa itu. Disebut di ayat 5 bahwa TUHAN akan meremukkan mereka melalui perantaraan nabi-nabi dan membunuh mereka dengan perkataan mulut-Nya. Ungkapan ini memperlihatkan kekecewaan dan amarah yang begitu besar. Umat yang diharapkan menjadi berkat, menjadi umat yang kudus, ternyata justru menjadi umat yang penuh dengan kepalsuan dan kejahatan.


Hidup ritual yang dijalani umat kala itu seakan hanya menjadi formalitas, sekedar menutupi kejahatan mereka. Lebih ironis lagi, mereka mengira bahwa dengan memberikan korban yang banyak mereka dapat memberi suap kepada TUHAN, agar TUHAN tidak murka, agar berdiam saja melihat kejahatan mereka. Atau lebih jauh, mereka berharap melalui korban itu mereka kan beroleh berkat yang melimpah, sekalipun tangan mereka penuh noda kejahatan. Tentu Tuhan tidak akan pernah membiarkan diri-Nya dipermainkan. Itu sebabnya TUHAN menegaskan bahwa Ia akan menghukum umat itu. Lebih jauh ditegaskan bahwa TUHAN menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan. Tuhan lebih menyukai pengenalan akan TUHAN daripada korban bakaran.


Saudara yang terkasih, karakter yang ditunjukkan oleh umat TUHAN dalam perikop ini, merupakan karakter yang harus kita hindari. Barangkali kita bisa mengatakan bahwa kita tidak seperti itu. Namun, kenyataannya, sangat terbuka kemungkinan tanpa kita sadari kita berlaku seperti umat itu, Ketika kita tidak sepenuhnya mengandalkan TUHAN dalam kehidupan kita. Kita lebih banyak mengandalkan harta, jabatan, ataupun relasi untuk mendapatkan keinginan kita. Kita juga bisa saja berpaling dari TUHAN dengan menjadikan kekuatan dunia ini menjadi kekuatan alternatif yang kita andalkan selain TUHAN. Ketika menghadapi masalah, ketika penyakit kita tidak kunjung sembuh, ketika kita terpuruk dalam perekonomian kita, ketika kita menghadapi masalah di tengah keluarga, hubungan orang tua dan anak tidak harmonis, dan banyak persoalan lainnya. Kepada siapakah kita mengadu? Kita berharap bahwa dari antara umat TUHAN tidak ada yang lalu pergi meminta sesuatu dari dukun, atau yang disebut orang pintar. Kita berharap bahwa umat TUHAN tetap mengandalkan TUHAN dalam setiap perjalanan hidupnya.


Kita harus ingat bahwa yang TUHAN harapkan dari kita adalah kesetiaan kita. TUHAN sendiri sudah memperlihatkan bahwa Ia adalah Allah yang setia kepada janji-Nya, setia kepada umat-Nya sekalipun umat itu menjauh dari-Nya. Karena itu kita patut meniru kesetiaan yang TUHAN tunjukkan. Setia dalam segala hal, baik dalam perkara kecil maupun perkara yang besar. Ini tentu tidak mudah, tetapi bukan berarti itu mustahil. Kita juga tidak akan serta-merta mampu melakukannya ketika kita memiliki kemauan. Tentu akan ada proses dan waktu untuk kita bisa hidup dalam kesetiaan yang sungguh kepada TUHAN. Proses dan waktu itulah yang akan menguji kesetiaan kita. Setialah senantiasa kepada-Nya. Amin.

 

Doa Penutup: Terima kasih Tuhan untuk hari yang Engkau berikan bagi kami. Kami bersyukur untuk kasih setiaMu yang Engkau berikan bagi kami. Ajarlah kami agar kami menjadi umat yang setia kepada-Mu. Begitu banyak hal yang mungkin membuat kami berpaling dari TUHAN. Karena itu berilah iman yang kokoh bagi kami, agar kami meniru Engkau yang selalu setia kepada umat-Mu. Berkatilah kami dalam segala aktivitas kami. Berilah kami kekuatan untuk melakukan segala pekerjaan kami. Berilah kami hikmat untuk melakukan apa yang TUHAN kehendaki dalam kehidupan kami. Kami menyadari bahwa kami adalah orang yang berdosa, yang tidak layak di hadapanMu. Ampunilah dosa dan pelanggaran kami agar kami layak menjadi anak-anak-Mu. Terimalah doa permohonan kami ini, di dalam nama AnakMu Tuhan Yesus Kristus Juruselamat kami. Amin.


Pdt. Samuel D. Sigalingging- Ka.Bag Adm. Departemen Koinonia HKBP

Pustaka Digital